JURNALPLUS.COM, PALEMBANG – Kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) kembali menyeret korporasi besar ke meja hijau. Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) Republik Indonesia resmi menggugat perusahaan perkebunan kelapa sawit, PT Bintang Harapan Palma (BHP), dengan nilai gugatan mencapai Rp 2,5 triliun atas kebakaran lahan gambut seluas 6.428 hektare di wilayah Tulung Selapan, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan.
Sidang lanjutan digelar di Pengadilan Negeri Palembang, Rabu (25/6/2025), dengan menghadirkan empat orang saksi dari pihak tergugat, PT BHP. Sidang dipimpin oleh Hakim Raden Zainal Arif, SH, MH, dan dihadiri oleh Tim Hukum KLH serta kuasa hukum dari PT BHP.
KLH Sebut Fasilitas Penanggulangan Karhutla PT BHP Tak Memadai
Usai sidang, Sri Indrawati, Analis Ahli Hukum Madya KLH, mengungkapkan sejumlah fakta mencengangkan di hadapan awak media. Salah satunya terkait minimnya sarana pengawasan dan penanggulangan karhutla yang dimiliki oleh PT BHP.
“Dari total luas lahan 10.550 hektare, PT BHP seharusnya punya minimal 10–11 menara pantau. Tapi nyatanya hanya ada 6, itu sangat tidak layak,” ujar Sri.
Selain itu, Sri juga menyoroti tidak adanya mobil pemadam kebakaran dan helikopter di lokasi perusahaan.
“Boro-boro helikopter, mobil damkar saja tidak ada. Mereka hanya punya selang 10 meter tanpa alat pendukung. Bahkan sosialisasi dilakukan secara informal, misalnya lewat acara pernikahan,” tambahnya.
Saksi Akui Terjadi Kebakaran Berulang dan Lambat Ditangani
Dalam persidangan, sejumlah saksi dari masyarakat menyampaikan kesaksian soal intensitas dan dampak karhutla di areal PT BHP. Salah satu saksi, Sekretaris Desa Tulung Seluang, mengatakan kebakaran besar pernah terjadi pada tahun 2017, 2019, dan 2023, terutama di lahan gambut yang sulit dipadamkan.
Saksi lainnya, Irawan Syah, warga Dusun Lebung Gajah, menyebut bahwa saat kebakaran terjadi, masyarakat ikut membantu pemadaman dengan peralatan seadanya.
“Kami padamkan api pakai sepatu sendiri, kadang pakai ranting. Dari rumah ke lokasi bisa 20 menit naik motor. Kalau asap tebal, kami sesak napas dan ke puskesmas,” kata Irawan.
Ia juga menyampaikan bahwa warga membuka lahan dengan cara dibakar, terutama saat ingin menanam karet atau padi. Kebakaran sering kali baru terdeteksi saat api sudah besar dan menyebar ke berbagai blok lahan.
6.428 Hektare Lahan Terbakar, Titik Api Terdeteksi di 868 Lokasi
Berdasarkan hasil investigasi dan dokumentasi yang dijadikan alat bukti oleh KLH, terdapat 868 titik koordinat kebakaran di lahan PT BHP, yang seluruhnya merupakan area gambut. Kebakaran ini menyebabkan kerusakan ekologis yang parah serta gangguan kesehatan masyarakat.
KLH menuntut ganti rugi Rp 2,5 triliun, yang terdiri dari:
-
Biaya pemulihan lingkungan
-
Dampak kerusakan ekologis
-
Dampak sosial dan kesehatan masyarakat
Gugatan Didasarkan pada Kelalaian dan Tidak Siapnya Sarana Pemadam
Tim hukum KLH menilai bahwa PT BHP lalai memenuhi kewajiban pencegahan dan penanggulangan kebakaran, sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Bukti lapangan dan kesaksian masyarakat memperkuat dugaan bahwa PT BHP tidak memiliki sarana pemadam memadai, termasuk dalam hal pengawasan (early warning system).
Penutup: Gugatan KLH Jadi Contoh Tegas Penegakan Hukum Lingkungan
Gugatan ini menjadi salah satu gugatan terbesar yang diajukan KLH dalam tahun 2025, dan diharapkan menjadi preseden hukum bagi perusahaan-perusahaan lain agar lebih serius mengelola lahan dan menyiapkan mitigasi karhutla.