Modus Pameran Fiktif, Celah yang Buat Astra Rugi Rp15,2 Miliar

Investigasi Kasus Penggelapan di Auto2000 Tanjung Api-Api

PALEMBANG, JURNALPLUS.COM – Sebuah gedung megah berdiri di kawasan Tanjung Api-Api (TAA), Palembang. Dari luar, Showroom Auto2000 TAA tampak profesional. Mobil-mobil baru berjejer rapi, mencerminkan reputasi PT Astra International Tbk sebagai raksasa otomotif nasional. Namun, di balik citra itu, tersembunyi kisah manipulasi keuangan yang membuat perusahaan harus menanggung kerugian Rp15,2 miliar.

Kisah ini melibatkan dua orang kepercayaan perusahaan: Eko Suryono, seorang Finance Administration Head (FAH) yang sudah 12 tahun bekerja, dan Victor Buana Citra, staf personalia. Keduanya bukan orang baru, bukan pula orang asing. Mereka paham seluk-beluk administrasi, alur pencairan dana, hingga titik lemah pengawasan perusahaan. Dan di situlah cerita bermula.

Skema Pameran yang Tak Pernah Ada

Pada Januari 2023, Eko dan Victor mulai menjalankan modus mereka. Dengan memanfaatkan dokumen lama, Victor membuat proposal kegiatan pameran palsu. Dokumen itu kemudian difotokopi, diberi stempel, dan dijadikan Bukti Pengeluaran Uang Muka (BPUM).

Proposal itu lalu diserahkan kepada Eko. Sebagai FAH, Eko punya wewenang menandatangani dokumen pengeluaran. Setelah tanda tangan sah, dokumen dibawa ke kasir perusahaan, RA Mardiana, lalu dicairkan ke Bank Permata. Uang segar pun berpindah ke tangan keduanya.

Faktanya, pameran yang disebut dalam dokumen tidak pernah ada. Tidak ada stan, tidak ada brosur, tidak ada mobil yang dipamerkan. Semua hanya rekayasa administrasi.

Audit Membongkar “Lubang Hitam”

Skema ini berjalan mulus hampir dua tahun. Namun, pada 31 Juli 2024, tim audit Astra pusat menemukan sesuatu yang janggal. Dari 515 dokumen pencatatan biaya pameran, sebanyak 434 ternyata palsu.

Modusnya beragam: ada dokumen duplikasi, lampiran dari pihak non-vendor, bahkan tanpa lampiran sama sekali. Hasil investigasi internal menyebut, sejak Januari 2022 hingga Juli 2024, perusahaan telah membayar ratusan juta setiap bulan untuk “pameran fiktif” yang tidak pernah terjadi. Total kerugian mencapai Rp15.220.522.181.

Jejak Uang dan Aliran Dana

Penyelidikan Kejaksaan Tinggi Sumsel kemudian mengungkap detail aliran dana.

  • Eko Suryono menerima Rp4,75 miliar

  • Victor Buana Citra menerima Rp950 juta

Selain itu, sebagian dana mengalir ke berbagai pos lain:

  • Setoran bulanan Rp25 juta untuk Kepala Cabang, berlangsung 19 bulan (Rp415 juta)

  • Renovasi kantor berupa pembuatan gudang, atap parkir, turunan parkir, pengecatan, hingga pengadaan kursi (Rp175 juta lebih)

  • Biaya mudik Eko Rp50 juta

  • Family Day karyawan Auto2000 TAA Rp100 juta

  • Pelunasan hutang aksesoris ke PT Karya Cemerlang Rp2,3 miliar

  • Perbaikan mobil milik seorang saksi, Lim Steven, Rp40 juta

Sekilas, penggunaan dana itu seperti “campuran” antara kepentingan pribadi dan operasional kantor. Namun, hakim tetap menilai semua aliran dana itu berasal dari perbuatan melawan hukum.

Vonis dan Konsekuensi Hukum

Pada Kamis, 21 Agustus 2025, sidang di PN Palembang berakhir dengan putusan: 3 tahun 4 bulan penjara untuk Eko dan Victor. Vonis itu lebih ringan dari tuntutan jaksa, yakni 4 tahun 6 bulan.

Baik terdakwa maupun jaksa masih menyatakan pikir-pikir, membuka kemungkinan banding. Meski begitu, putusan ini sudah cukup menggambarkan bahwa sistem pengawasan internal Astra kecolongan besar-besaran.

Mengapa Bisa Terjadi?

Kasus ini menunjukkan adanya kelemahan sistem kontrol internal di Auto2000 TAA. Seorang FAH, yang seharusnya jadi benteng terakhir keuangan, justru menjadi aktor utama. Ditambah minimnya validasi terhadap dokumen vendor, pencairan dana berlangsung tanpa hambatan.

Sumber internal yang enggan disebutkan menilai, sistem Astra saat itu masih mengandalkan dokumen manual dan tanda tangan pejabat cabang. Ketika pejabat internal ikut bermain, hampir tidak ada alarm yang berbunyi. Audit pusat baru menemukan kasus setelah dua tahun kerugian berjalan.

Dampak Lebih Luas

Kerugian Rp15,2 miliar bukan hanya angka di laporan keuangan. Kasus ini merusak reputasi perusahaan sebesar Astra, sekaligus menjadi pukulan bagi kepercayaan publik terhadap integritas internalnya.

Bagi karyawan, kasus ini juga menjadi tamparan: bahwa senior dengan jabatan tinggi pun bisa terseret ke kursi pesakitan. Bagi manajemen, ini alarm keras untuk memperketat pengawasan keuangan, memperbarui sistem validasi digital, serta memastikan tidak ada lagi ruang bagi “pameran fiktif” berikutnya.