Jalan Hauling Tanpa AMDAL: Jejak Kejahatan Lingkungan di Sumsel

Palembang, JurnalPlus.com – Puluhan massa dari Suara Informasi Rakyat Sriwijaya (SIRA) berorasi lantang di halaman Kantor Kejati Sumsel, Jumat (22/8). Bagi mereka, jalan hauling batu bara sepanjang 26,4 kilometer milik PT Levi Bersaudara Abadi (LBA) bukan sekadar infrastruktur, melainkan simbol kejahatan lingkungan yang dilegitimasi pejabat daerah.

Proyek yang Dipuji, Izin yang Terlupakan

Awal Agustus lalu, Gubernur Sumsel Herman Deru dengan bangga meresmikan jalan hauling tersebut. Dengan narasi “kemajuan infrastruktur,” proyek itu dipamerkan sebagai langkah strategis untuk memperlancar distribusi batu bara dari Kabupaten Lahat.

Namun, di balik seremoni itu, terungkap kenyataan pahit: proyek berdiri tanpa dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH).

“Pola lama kembali digunakan: bangun dulu, izin belakangan. Ini bukan capaian, melainkan pembohongan publik,” tegas Direktur Eksekutif SIRA, Rahmat Sandi.

Jejak Pelanggaran di Balik Jalan Tambang

Dalam orasinya, Sandi menuding pembangunan jalan hauling itu hanya mungkin terjadi berkat kompromi antara pengusaha dan pejabat. Bagi SIRA, proyek ini bukan sekadar pembangunan, tetapi “kejahatan lingkungan yang dijalankan secara sistematis.”

SIRA menduga, kawasan hutan yang seharusnya dilindungi justru dibelah untuk kepentingan tambang. Warga sekitar yang bergantung pada ekosistem kini terancam oleh kerusakan tanah, debu batubara, serta potensi longsor dan banjir.

“Alih-alih melindungi, pejabat justru jadi fasilitator perusakan,” ujar Sandi.

Empat Tuntutan Rakyat

Lewat aksi ini, SIRA melayangkan empat tuntutan keras: hentikan pembangunan, usut hukum, copot pejabat terlibat, dan pulihkan hak masyarakat terdampak.

Bagi mereka, isu ini bukan hanya soal aturan administratif, tapi menyangkut keberlangsungan lingkungan dan masa depan warga Lahat.

Sikap Kejati dan Ancaman Hukum

Perwakilan Kejati Sumsel, Helmi SH MH, menegaskan pihaknya akan mempelajari laporan tersebut.

“Jika ada bukti pelanggaran hukum, tentu akan diproses. Penegakan hukum tidak pandang bulu,” ujarnya singkat.

Namun pengamat lingkungan Dr. Elviriadi menegaskan, persoalan ini jelas masuk ranah pidana.

“Tanpa AMDAL dan IPPKH, proyek ini otomatis ilegal. Undang-Undang No. 32/2009 mengatur ancaman pidana hingga tiga tahun penjara dan denda Rp 3 miliar. Dan bukan hanya pengusaha, pejabat yang memberi restu juga bisa dijerat,” jelasnya.

Menurutnya, praktik ini menegaskan lemahnya pengawasan daerah dan kuatnya intervensi pengusaha tambang. Ia mendesak pemerintah pusat untuk turun tangan.

“Jika pola ilegal seperti ini dibiarkan, rakyatlah yang menanggung kerusakan: lahan kritis, air kotor, udara berdebu, dan konflik sosial yang tak terelakkan,” pungkasnya.

Simbol Konflik Lama

Kasus jalan hauling PT LBA menambah daftar panjang konflik antara kepentingan tambang dan kelestarian lingkungan di Sumsel. Model “pembangunan dulu, izin belakangan” terus berulang, sementara rakyat hanya menjadi penonton sekaligus korban.

Aksi SIRA menjadi peringatan: jika hukum gagal menegakkan keadilan lingkungan, publik akan kehilangan kepercayaan, dan alam Sumatera Selatan semakin terkoyak.