JURNALPLUS.COM, PALEMBANG – Ribuan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Palembang memadati halaman DPRD Sumsel, Senin (1/9/2025). Mereka berteriak lantang menolak tunjangan Rp 3 juta per hari yang diterima anggota dewan, karena dinilai melukai hati rakyat.
Di tengah hiruk pikuk massa, suara orasi, dan kepulan asap dari aksi mahasiswa, ada satu sosok yang tidak ikut berteriak. Ia justru sibuk menunduk, memungut satu per satu botol plastik bekas air mineral yang berserakan. Namanya Sobri (40), seorang pemulung asal Bukit Besar.
Bagi Sobri, aksi yang menyita perhatian publik ini justru menghadirkan rezeki tak terduga. Ribuan mahasiswa yang hadir membawa botol air kemasan, meninggalkan tumpukan sampah plastik yang nilainya cukup berarti di mata seorang pemulung.
“Untuk botol saya jual Rp 3 ribu per kilo, sedangkan gelas plastik lebih mahal, Rp 4 ribu per kilo,” ujar Sobri sambil memilah tumpukan plastik di karung gendongannya.
Hari itu, Sobri berhasil mengumpulkan tiga karung besar botol dan gelas plastik. Satu karung berisi sekitar 10–15 kilogram. Jika ditimbang, jumlah itu cukup untuk menghasilkan Rp 100–150 ribu. Angka yang mungkin terdengar kecil bagi sebagian orang, tetapi bagi Sobri hasil itu berarti berkah bagi dapur rumahnya.
“Alhamdulillah, hari ini saya bisa bawa pulang Rp 100 ribu lebih. Saya datang bersama tiga teman. Lumayan, bisa buat makan keluarga,” katanya dengan senyum sederhana.
Sobri bukan satu-satunya. Sejumlah pemulung lain juga ikut berburu rezeki dari lautan botol plastik bekas yang ditinggalkan para mahasiswa. Di tengah panas terik dan teriakan orasi, mereka bekerja dalam diam, memungut dan mengumpulkan sisa-sisa aksi yang dianggap “tak berguna” bagi sebagian orang.
Kisah Sobri menjadi potret kecil kehidupan di balik peristiwa besar. Di saat mahasiswa berjuang menyuarakan aspirasi rakyat, ada rakyat kecil yang ikut mendapat manfaat—meski bukan dalam bentuk kebijakan, melainkan dalam wujud botol plastik yang bisa ditukar jadi uang.